Politik Kampus dan Idealisme Ala Soe Hok Gie

 

Sebagai seorang aktivis mahasiswa, mendengar nama Soe Hok Gie bukanlah menjadi hal yang asing. Siapa yang tidak kenal dengan aktivis yang satu ini, ia yang paling lantang menyuarakan kebenaran dan tidak mau tunduk pada kedzaliman itu. Sosok Soe Hok Gie telah menjadi idola bagi sebagian besar aktivis mahasiswa karena idealisme yang dimiliki dan sikap dia mengenai dinamika perpolitikan kampus. Mengapa demikian?

Pada momentum penghujung tahun seperti ini di beberapa universitas sedang panas-panasnya mahasiswa disibukkan oleh agenda besar organisasi intra kampus yaitu peralihan kepemimpinan. Bukan menjadi rahasia lagi bilamana setiap event ini selalu diwarnai oleh intrik politik. Mahasiswa dengan partainya masing-masing akan mengusung calon sebagai kandidat presiden mahasiswa, tentu dengan beragam bendera organisasi ekstra yang mendukung di belakangnya. Mahasiswa terbagi menjadi beberapa kubu yang saling berebut untuk memenangkan pesta demokrasi bagi mahasiswa tersebut.

Mulai dari saling serang soal gagasan, kampanye program-program yang menjadi unggulan, sebar brosur atau pamflet di sepanjang jalan kampus, bahkan gesekan-gesekan fisik antar pendukung kadang juga tak terelakkan. Melihat hal ini, saya teringat pada kisah Soe Hok Gie dalam hal serupa yang terjadi di Universitas Indonesia pada waktu. Dimana UI sedang terjadi pergulatan hebat, mahasiswanya berebut untuk mendapatkan jabatan di lembaga intra kampus. Namun, tidak dengan aktivis bernama Soe Hok Gie yang justru memiliki idealisme dan jalan yang diyakininya sendiri.

Soe Hok Gie, lahir pada tanggal 17 Desember 1942 merupakan seorang etnis dari Tionghoa, putra dari pasangan Soe Lie Pit dan Nio Hoe An. Sejak kecil ia sudah sangat dekat dengan sastra, melihat ayahnya yang seorang novelis. Setelah lulus SMA, ia meneruskan pendidikan tinggi di Universitas Indonesia dengan mengambil jurusan sejarah, Fakultas Sastra.

Soe Hok Gie memiliki pendirian politik yang kuat dan memilih independen atas apa yang sedang terjadi di kampusnya. Ia menganggap bahwa gerakan mahasiswa harus terlepas dari kepentingan politik elit. Ia tidak suka terhadap organisasi ekstra kampus yang dianggapnya memiliki hubungan patron politik terhadap partai di parlementer. Pasalnya, pada tahun 1950-1960 an partai politik menjadikan organisasi-organisasi ekstra kampus sebagai tangan panjangnya di perguruan tinggi. Hal ini yang menyebabkan pula Organisasi Intra menjadi ajang perebutan, karena barang siapa yang berhasil memegangnya maka akan memiliki hak untuk setiap kegiatannya akan diarahkan untuk memenuhi kepentingan golongannya.

“Sebagai aktivis mahasiswa saya kenyang dengan pengalaman ini. Di republik kecil saya (Universitas Indonesia), saya pernah menjadi gubernur (ketua senat) dan saya kira saya cukup tahu betapa tidak sehatnya kehidupan kemahasiswaan di tempat saya. Di republik kecil yang bernama Universitas Indonesia kita bisa jumpai segala macam kejorokan-kejorokan yang biasa kita temui dalam republik yang lebih besar – dalam Republik Indonesia,” ungkap Soe Hok Gie.

Menyikapi hal tersebut, Soe Hok Gie bersama dengan beberapa kawan mahasiswa independen lainnya kemudian merintis MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam) dengan tujuan sebagai wadah bagi mahasiswa yang tidak mau di intervensi oleh politik kampus. Meskipun namanya adalah mahasiswa pencinta alam, akan tetapi kegiatan-kegiatan yang dilakukan tidak hanya sebatas naik gunung saja, melalui MAPALA ini, Soe Hok Gie dengan kawan-kawannya tetap aktif berdiskusi dan terus mengampanyekan tentang kemurnian gerakan mahasiswa.

Gerakan Soe Hok Gie dengan mendirikan MAPALA ini kemudian dikenal sebagai gerakan yang steril dari kepentingan politik elite, ia benar-benar menjaga marwah gerakan mahasiswa. Universitas adalah tempat yang suci, tempat dimana dinamika pikiran-pikiran kritis akan terus lahir dan berkembang tanpa adanya upaya-upaya intervensi dari perpolitikan apa pun, sekaligus menjadi benteng pertahanan terakhir dari peradaban dan kemerdekaan intelektual sebuah bangsa, untuk itu mengapa gerakan-gerakannya harus benar-benar dijaga.

Beberapa kegiatan yang dilakukan yang bertujuan supaya mahasiswa tidak terjebak pada politik kampus yang merusak itu adalah dengan mengadakan nonton film dan naik gunung. Menurut Gie (Panggilan sapa Soe Hok Gie), dengan naik gunung kita bisa lebih dekat dengan masyarakat untuk tahu lebih dalam tentang budaya dan problematika yang sedang terjadi. Dengan demikian kalau kita mau mengkritik itu memiliki dasar yang kuat, bukan hanya sebatas teori belaka tanpa tahu yang terjadi yang sebenarnya.

Soe Hok Gie adalah aktivis yang sebenarnya, ia tidak tergoda sedikit pun dengan kemewahan duniawi. Idealisme adalah kemewahan yang luar biasa dan sudah sepatutnya dijadikan contoh bagi aktivis-aktivis sekarang ini. Ia tidak takut mengkritik kepada siapa pun yang dianggapnya salah, seperti halnya pada waktu itu dimana ketika kawan-kawan seperjuangannya saat demonstrasi melengserkan Soekarno mulai menjadi pejabat pada masa Orde Baru, Gie malah memilih menjadi orang biasa dan tidak terpikat iming-iming menjadi pejabat beliau memilih menjadi dosen dan tetap mengkritik kebijakan penguasa. Ia mengirimkan paket kosmetik yang bertujuan agar teman-temannya lebih pandai bersolek di hadapan penguasa untuk menjadi seorang yang hipokrit sebagai bentuk kritikannya.

Gie meninggal pada 16 Desember 1969 ketika mendaki Gunung Semeru. Ia meninggal karena menghirup asap beracun dari kawah gunung. Gie meninggal bersama Idhan Dhanvantari Lubis, teman mendakinya. Ia dimakamkan pada 24 Desember 1969 di Menteng Pulo. Kemudian, dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang.

Namun, Pekuburan Kober dibongkar oleh Ali Saikin pada 1975 sehingga harus dipindahkan. Akan tetapi, keluarga dan kerabatnya menolak, serta memilih untuk dikremasi. Akhirnya jasad Soe Hok Gie dibakar serta abunya disebar di Gunung Pangrango. Semeru menjadi lokasi embusan nafas terakhir, dan Pangrango adalah ujung perabukannya.


Komentar

Postingan Populer